Mandailing Natal, Rizal Bakri Nasution, aktivis muda dan kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), mengalami perlakuan tidak menyenangkan setelah mengungkap dugaan penyimpangan Dana Desa tahun anggaran 2023–2024 di Desa Simpang Koje/Sordang.
Alih-alih mendapatkan klarifikasi dari pihak terkait, Bakri menerima makian pribadi dari istri Kepala Desa.
Pada 29 Juni 2025, sekitar pukul 17.30 WIB, Bakri menerima panggilan telepon selama tujuh menit dari istri Kepala Desa.
Dalam percakapan itu, Bakri mengaku dihina secara pribadi, termasuk penghinaan terhadap orang tua yang telah wafat.
“Ini bukan reaksi spontan, melainkan kemarahan terhadap suara kebenaran,” kata Bakri.
Rekaman telepon tersebut kini telah diamankan sebagai bukti hukum.
“Negara ini berdiri di atas hukum, bukan ego pejabat desa. Kritik saya bukan fitnah, tapi berdasarkan kegelisahan masyarakat. Jika kritik dibalas dengan cacian, itu tanda panik dari pihak yang merasa kuasanya terusik,” tambah aktivis ini.
Ia menilai sejumlah proyek pembangunan desa mencurigakan dan kurang transparan, bahkan ada indikasi penggelembungan anggaran.
Bakri mendesak Inspektorat, Kepolisian, dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Kabupaten Mandailing Natal untuk segera melakukan audit menyeluruh.
“Dana desa adalah uang rakyat. Jika tidak ada yang berani bersuara, korupsi akan terus berkembang. Namun saya yang bersuara justru dimaki seolah saya yang bersalah,” ujarnya.
Sebagai langkah hukum, Bakri sedang mempersiapkan laporan dugaan penghinaan melalui media elektronik sesuai hukum yang berlaku.
“Rekaman ini bukan hanya alat bukti, tetapi juga cermin bagaimana kekuasaan kecil di tingkat desa bisa bertindak sewenang-wenang saat dikritik.
"Saya tidak akan mundur dan siap membuka semuanya ke publik,” tegasnya.
Hingga saat ini, Kepala Desa dan istrinya belum memberikan pernyataan resmi terkait kasus ini.
Namun, perlakuan terhadap aktivis yang vokal soal korupsi Dana Desa ini menjadi peringatan penting bagi integritas demokrasi di tingkat Desa.
(Tim)